Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) berada dalam satu kompleks dengan
Monumen Pancasila Sakti yang berada di Jl. Raya Pondok Gede, Lubang
Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, beberapa ratus meter dari
Asrama Haji Pondok Gede. Museum Pengkhianatan
PKI ini dikelola oleh Pusat Sejarah TNI, Departemen Pendidikan, serta
Departemen Kebudayaan Pariwisata, memiliki ratusan benda bersejarah
terkait dengan peristiwa pemberontakan G30S-PKI.
Pintu gerbang tinggi menyambut pengunjung ketika memasuki Lubang Buaya,
dengan jalan masuk lebar serta pepohonan rindang. Pengunjung membayar
karcis masuk sebesar Rp.2.500 per orang, baik dewasa maupun anak-anak,
dengan karcis parkir bus Rp. 3.000, mobil sedan Rp. 2.000, sepeda motor
Rp. 1.000.
Diorama Museum Pengkhianatan PKI
tentang teror Gerombolan Ce’ Mamat, gembong komunis 1926, Ketua Komite
Nasional Indonesia Serang. Ia menuduh pemerintah RI Banten sebagai
kelanjutan kolonial, juga menghasut rakyat agar tidak mempercayai
pejabat pemerintah.
Pada 17 Oktober 1945 Ce’ Mamat membentuk Dewan
Pemerintahan Rakyat Serang, merebut pemerintahan Karesidenan Banten,
menyusun pemerintahan model Soviet. Ce’ Mamat beserta pengikutnya,
diantaranya Laskar Gulkut, melakukan aksi teror, merampok, menculik
membunuh pejabat pemerintahan.
Ketika Presiden Sukarno serta Wakil
Presiden Moh. Hatta berkunjung ke Banten, dengan alasan dipanggil
Presiden, Ce’ Mamat dengan anak buahnya menjemput R. Hardiwinangun,
Bupati Lebak, dari rumahnya di Rangkasbitung dan membawanya ke desa
Panggarangan. Keesokan paginya, 9 Desember 1945, mereka membunuh R.
Hardiwinangun dengan menembaknya di atas jembatan sungai Cimancak lalu
melempar mayatnya ke sungai.
Museum Pengkhianatan PKI
memperlihatkan tindak kekerasan Pasukan Ubel-Ubel di Sepatan,
Tangerang, pada 12 Desember 1945. Dimulai pada 18 Oktober 1945, Badan
Direktorium Dewan Pusat pimpinan Ahmad Khairun dengan dukungan gembong
komunis bawah tanah berhasil mengambil alih kekuasaan pemerintah RI
Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara.
Mereka membubarkan
aparatur pemerintah tingkat desa sampai kabupaten, menolak mengakui
pemerintah pusat RI, membentuk Laskar Hitam atau Laskar Ubel-Ubel karena
berpakaian serba hitam memakai ubel-ubel (ikat kepala). Laskar
Ubel-Ubel melakukan aksi teror dengan membunuh merampok harta penduduk
Tangerang dan sekitarnya, seperti Mauk, Kronjo, Kresek, Sepatan.
Pada
12 Desember 1945, dibawah pimpinan Usman, Laskar Ubel-Ubel merampok
penduduk Desa Sepatan, melakukan pembunuhan, termasuk membunuh tokoh
nasional Oto Iskandar Dinata di Mauk.
Museum Pengkhianatan PKI
melukiskan peristiwa revolusi sosial Langkat pada 9 Maret 1946.
Peristiwa ini bermula karena berdirinya Republik Indonesia belum
diterima sepenuhnya oleh kerajaan-kerajaan Sumatera Timur. Ketidakpuasan
sebagian rakyat yang menuntut penghapusan kerajaan dimanfaatkan PKI
serta Pesindo untuk mengambil alih kekuasaan secara kekerasan.
Revolusi
sosial dimulai pada 3 Maret 1946, selain untuk menghapus kerajaan juga
merampok harta benda serta membunuh raja-raja beserta keluarganya.
Tindakan teror pembunuhan terjadi di Rantau Prapat, Sunggal, Tanjung
Balai dan Pematang Siantar pada hari itu.
Pada 5 Maret 1946
Kerajaan Langkat secara resmi dibubarkan dan ditempatkan dibawah
pemerintahan RI Sumatera Timur, namun tetap saja pada malam 9 Maret
1946 massa PKI pimpinan Usman Parinduri dan Marwan menyerang Istana
Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura. Istana diduduki massa PKI,
beberapa keluarga Sultan dibunuh, Sultan beserta keluarganya dibawa ke
Batang Sarangan.
Diorama Museum Pengkhianatan PKI tentang pengacauan Surakarta pada 19 Agustus 1948, sebagai salah satu upaya pengalihan perhatian pemerintah RI terhadap persiapan kegiatan pemberontakan PKI Madiun.
PKI membakar ruang pameran Jawatan
Pertambangan ketika berlangsung pasar malam Sriwedari dalam rangka hari
ulang tahun kemerdekaan RI. Rembetan api dapat dicegah, namun timbul
kepanikan pengunjung sehingga 22 orang menderita luka-luka.
Museum Pengkhianatan PKI
menampilkan pemberontakan PKI Madiun pada 18 September 1948. Gagal
menjatuhkan kabinet Hatta dengan cara parlementer, komunis membentuk
Front Demokrasi Rakyat, melakukan aksi-aksi politik serta tindak
kekerasan.
Musso (Muso Manowar), atau Paul Mussotte, yang baru
kembali dari Moskow dan mengambil alih pimpinan PKI, menuduh
Soekarno-Hatta menyelewengkan perjuangan bangsa Indonesia. Ia menawarkan
“Jalan baru Untuk Republik Indonesia”. Pada saat perhatian pemerintah
dan Angkatan Perang terpusat untuk menghadapi Belanda, PKI melakukan
kampanye menyerang politik pemerintah, melakukan aksi-aksi teror,
mengadu domba kekuatan bersenjata, juga sabotase ekonomi.
Dini
hari 18 September 1948, ditandai 3 letusan pistol, PKI memulai
pemberontakan Madiun. Pasukan Seragam Hitam menyerbu, menguasai
tempat-tempat penting dalam kota, termasuk gedung Karesidenan Madiun.
Di gedung ini PKI mengumumkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia”
serta membentuk Pemerintahan Front Nasional. Sejumlah petinggi militer,
pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat pun dibunuh.
Museum Pengkhianatan PKI
menggambarkan saat Musso tertembak mati pada 31 Oktober 1948. Pada 1
Oktober 1948, TNI menguasai Dungus yang dijadikan PKI sebagai basis
setelah kekalahan mereka di Madiun. Pemimpin dan pasukan PKI lari ke
arah selatan, berusaha menguasai Ponorogo, namun gagal. Musso dan Amir
Sjarifuddin lari menuju gunung Gambes, dikawal oleh dua batalyon yang
cukup kuat. Mereka berpisah di tengah perjalanan.
Musso bersama
dua orang pengawalnya menyamar sebagai penduduk desa, tiba di Balong
pada pagi 31 Oktober 1948, ia menembak mati seorang anggota Polisi yang
memeriksanya. Dengan naik dokar rampasan diiringi pengawal bersepeda,
hari itu juga ia tiba di desa Semanding, Kecamatan Somoroto. Ia menembak
seorang perwira TNI yang mencegatnya, namun tidak mengenai sasaran.
Karena tidak bisa menjalankan kendaraan TNI rampasan, Musso lari masuk
desa, bersembunyi di sebuah blandong (tempat mandi) milik seorang
penduduk. Pasukan TNI yang mengepungnya memerintahkan supaya ia
menyerah, namun Musso melawan. Ia mati tertembak dalam peristiwa.
Beberapa orang pengunjung tengah mengamati diorama Museum Pengkhianatan PKI tentang penangkapan Amir Sjarifuddin pada 29 November 1948.
Setelah
berpisah dari Musso, melalui perjalanan panjang dan sulit, Amir
Sjarifuddin tiba di daerah Purwodadi dan bersembunyi di gua Macan di
Gunung Pegat, Kecamatan Klambu. Semula polisi keamanan yang menjaga
garis demarkasi Demak-Dempet-Gendong, tidak jauh dari tempat
persembunyiannya, adalah orang-orang komunis, sehingga ia merasa aman.
Setelah
TNI melucuti Polisi Keamanan itu dan melancarkan operasi-operasi
pembersihan di sekitar daerah Klambu, posisi Amir Sjarifuddin pun
terjepit. Pada 22 Nopember 1948 pasukan pengawalnya menyerah, dan Senin
sore 29 Nopember 1948 tempat persembunyiannya dikepung TNI. Amir
Sjarifuddin dan beberapa tokoh PKI lainnya pun menyerah dan diserahkan
kepada komandan Brigade-12 di Kudus.
Diorama Museum Pengkhianatan PKI yang melukiskan serangan PKI ke asrama polisi di Tanjung Priok pada 6 Agustus 1951.
Sesudah
Pengakuan Kedaulatan RI, sisa-sisa PKI membentuk gerombolan bersenjata
Sunari di Jawa Timur, Merapi-Merbabu Compleks di Jawa Tengah, dan
gerombolan Eteh di Jakarta. Pada 6 Agustus 1951 pukul 19.00 WIB,
gerombolan bersenjata Eteh berkekuatan puluhan orang dengan memakai ikat
kepala bersimbol burung merpati dan palu arit menyerang asrama Mobile
Brigade Polisi di Tanjung Priok untuk merebut senjata. Dua anggota
polisi mengalami luka-luka parah dan seorang wanita penghuni asrama juga
menderita luka-luka. Gerombolan Eteh berhasil merampas 1 bren, 7
karaben mauser dan 2 pistol.
Diorama penangkapan D.N. Aidit yang terjadi pada 22 November 1965 di Museum Pengkhianatan PKI.
Pada
1 Oktober 1965 tengah malam, Ketua CC PKI D.N.Aidit melarikan diri ke
Jawa Tengah yang merupakan basis utama PKI. Tanggal 2 Oktober 1965 ia
berada di Yogyakarta, dan berpindah-pindah tempat ke Semarang dan Solo
untuk menghindari operasi pengejaran oleh RPKAD (Resimen Para Komando
Angkatan Darat, sekarang Kopassus). Ia bersembunyi di sebuah rumah di
kampung Sambeng Gede yang merupakan basis Serikat Buruh Kereta Api
(SBKA), organisasi massa di bawah pengaruh PKI.
Tempat
persembunyian D.N. Aidit ini akhirnya diketahui oleh ABRI melalui
operasi intelijen. Pada 22 Nopember 1965 pukul 01.30 pagi rumah
persembunyian D.N. Aidit digrebek oleh anggota Komando Pelaksanaan Kuasa
Perang (Pekuper) Surakarta. Penangkapan hampir gagal ketika pemilik
menyatakan D.N. Aidit telah meninggalkan rumahnya. Kecurigaan timbul
setelah anggota Pekuper menemukan sandal yang masih baru, koper dan
radio. Setelah penggeledahan dilanjutkan, dua orang Pekuper menemukan
D.N. Aidit yang bersembunyi di balik lemari, dan ia pun dibawa ke
Markas Pekuper di Loji Gandrung, Surakarta.
Diorama Museum Pengkhianatan PKI yang menunjukkan proses lahirnya Sura Perintah 11 Maret 1966.
Pada
11 Maret 1966 Kabinet Dwikora bersidang di Istana Negara, ditengah
memuncaknya demonstrasi mahasiswa yang menuntut pembubaran PKI,
pembersihan kabinet dari oknum-oknum G.30.S/PKI dan penurunan harga.
Presiden Soekarno yang mendapat laporan bahwa istana dikepung oleh
pasukan tidak dikenal, segera meninggalkan sidang dan berangkat ke
Istana Bogor.
Tiga orang perwira tinggi TNI Angkatan Darat, yaitu
Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf dan Brigjen Amir Machmud
menyusul ke Bogor setelah melapor kepada Men/Pangad Letjen Soeharto.
Mereka meyakinkan Presiden bahwa tidak benar ada pasukan tanpa
identitas mengepung Istana dan menyampaikan pesan Letjen Soeharto yang
sanggup mengatasi keadaan apabila Presiden memberinya kepercayaan untuk
tugas itu. Dari laporan itu lahir ide untuk memberikan Surat Perintah
kepada Letjen Soeharto.
Presiden Soekarno memerintahkan ketiga
perwira tinggi itu menyusun konsep surat perintah. Konsep itu kemudian
dibaca oleh tiga orang Wakil Perdana Menteri yang juga berada di Istana
Bogor. Surat perintah yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah 11
Maret 1966 atau “Supersemar” berisi pemberian wewenang kepada Letjen
Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna
terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya
pemerintahan dan jalannya revolusi. Malam itu juga SP 11 Maret
disampaikan kepada Letjen Soeharto di Jakarta.
Diorama Museum Pengkhianatan PKI yang menunjukkan saat masyarakat Jakarta menyambut keputusan pembubaran PKI pada 12 Maret 1966.
Pada malam tanggal 11 Maret 1966 Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Soeharto menerima Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno, yang berisi wewenang untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna menjamin keamanan dan ketertiban.
Pada tanggal 12 Maret 1966 Letjen Soeharto atas nama
Presiden Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pimpinan Besar Revolusi
mengeluarkan keputusan tentang Pembubaran PKI dan organisasi-organisasi
massanya yang seazas, bernaung dan berlindung di bawah PKI, dan PKI
dinyatakan sebagai organisasi yang terlarang di seluruh wilayah
kekuasaan Republik Indonesia.
Keputusan itu diumumkan melalui RRI
pada pukul 06.00 tanggal 12 Maret 1965. Massa rakyat Jakarta mengadakan
pawai kemenangan di jalan-jalan dan membawa poster-poster sebagai
ungkapan rasa gembira dan terima kasih.
Museum Pengkhianatan PKI dilihat dari balkon setelah keluar dari ruangan museum.
Museum
Pengkhianatan PKI diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1 Oktober
1992. Setelah keluar dari gedung Museum Pengkhianatan PKI terdapat
Museum Monumen Pancasila Sakti, yang diresmikan pada 1 Oktober 1981.
Di
Museum Monumen Pancasila Sakti ini terdapat diorama rapat persiapan
pemberontakan PKI, latihan sukarelawan PKI di Lubang Buaya (5 Juli – 30
September 1965), penculikan Men/pangad Letjen TNI A Yani, penganiayaan
di Lubang Buaya (1 Oktober), pengamanan lanuma Halim Perdana Kusuma (2
Oktober), Pengangkatan Jenazah (4 Oktober), Proses Lahirnya Supersemar
(11 Maret 1966), dan beberapa diorama lainnya.
Memorabilia Kapten Pierre Andreas Tendean yang disimpan di sebuah Ruang Relik Museum Monumen Pancasila Sakti. Kapten Pierre Andreas Tendean menjadi salah satu korban pembunuhan G30S-PKI di Lubang Buaya dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.
Beberapa pengunjung remaja tampak tengah mengamati pakaian Kol. Katamso dan Mayjen Suprapto saat dibunuh di Lubang Buaya, serta foto kenangan dan perlengkapan yang dimiliki almarhum.
Di Museum Monumen
Pancasila Sakti terdapat ruangan teater yang menyajikan pertunjukan VCD
berisi rekaman pengangkatan jenazah Pahlawan Revolusi, pemakaman di
Taman Makam Pahlawan Kalibata, Sidang Mahmilub, dan pengangkatan
Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI pada 12 Maret 1967, dengan
durasi 30 menit.
Sebuah Panser bertipe PCMK-2 Saraceen buatan Inggris yang terletak tidak jauh dari Gedung Museum Pengkhianatan PKI. Panser ini dipakai untuk mengangkut jenazah para korban G30S-PKI dari Lubang Buaya ke RSPAD Gatot Subroto Jakarta guna pemeriksaan visum et repertum. Panser itu juga pernah dipakai untuk mendukung operasi militer di Timor Timur pada 1976, sebelum akhirnya ditarik pada Juli 1985 dan dijadikan monumen.
Museum Pengkhianatan PKI
Jl. Raya Pondok Gede, Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung,
Jakarta Timur. Telp: 021-8400423, Fax 021-8411381
GPS: -6.291086,106.907331 (Peta)
Jakarta Timur. Telp: 021-8400423, Fax 021-8411381
GPS: -6.291086,106.907331 (Peta)
Lihat juga:
Teks Diorama Museum Pengkhianatan PKI
Teks Diorama Museum Pengkhianatan PKI
Tiket masuk: Rp.2.500, parkir bus 5.000, sedan 3.000, motor 1.000.
Buka
setiap hari pukul 09.00-16.00 WIB, Senin libur. Setiap tanggal 5
Oktober dan 10 November, pengunjung tidak dikenakan biaya masuk.
Akses ke Museum Pengkhianatan PKI
Mikrolet
M28 Kampung Melayu – Pondok Gede | K 06 Kampung Rambutan – Pondok Gede –
Ujung Aspal Kranggan | KWK Chandra 04 Cililitan – Pondok Gede | KWK 461
UKI – Pondok Gede – Pasar Rebo | KWK T 05 Cililitan – Setu | KWK T 05A
Kampung Rambutan – Lubang Buaya | Metromini T45 Pulo Gadung – Pondok
Gede – TMII
Dari tepi jalan raya jalan kaki 500m, atau naik ojek.