Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Dalam melakukan ibadah, selain harus
memenuhi syarat dan rukun ibadah itu sendiri, seseorang juga harus
memperhatikan beberapa hal yang menjadi syarat atau penentu diterimanya
ibadah itu. Setidaknya, ada dua syarat atau penentu diterimanya suatu
ibadah. Pertama, dikerjakan dengan ikhlas. Kedua, dikerjakan dengan benar.
Fudhail bin Iyadh rahimahullah
mengatakan, "Amal ibadah itu jika dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak
benar, tidak akan diterima. Dan apabila dikerjakan dengan benar, namun
tidak ikhlas, tidak diterima pula. Sehingga ibadah itu dikerjakan dengan
ikhlas dan benar." Benar yang dimaksud adalah sesuai dengan ajaran Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam, atau dikenal dengan istilah mutaba'atur rasul.
Dalam hal ini, tak terkecuali ibadah
haji. Sebagian orang merasakan begitu beratnya berlaku ikhlas dalam
ibadah haji. Sebab, tidak seperti ibadah-ibadah lainnya, jika seseorang
telah melaksanakan haji, ia mesti akan mendapat gelar baru yang tertera
di depan namanya (Bapak Haji). Karena ibadah haji dianggap sebagai suatu
yang sangat istimewa di mata masyarakat umum, maka mereka berusaha
mengagungkannya dan mengukur tingkat kemuliaan seseorang dengan gelar
itu. Karenanya, bagi seseorang yang melaksanakan haji, jika tidak
berhati-hati dengan niatnya, ia bisa terjerumus ke dalam riya dan
kehilangan semua pahala hajinya. Yang menjadi pertanyaan, perlukah gelar
haji itu bagi seorang muslim yang telah melaksanakannya?
Mestinya, selain gelar bapak haji atau
ibu hajah, ada juga gelar bapak/ibu salat, zakat, puasa, atau syahadat.
Jadi, jika seseorang telah melaksanakan kelima rukun Islam, di depan
namanya akan tertera lima gelar itu. Jika tidak dipakai, sebaiknya
dihapus semua. Karena, ketinggian nilai ibadah di sisi Allah itu dilihat
dari ketulusan hati seseorang dalam melakukan hal itu, juga implikasi
sosialnya, bukan dilihat dari jenisnya secara fisik.
Maka, wajar jika seorang guru besar
Al-Azhar Kairo, Dr. Sayyid Razak Thawil, pernah menolak dengan tegas
pemakaian gelar haji bagi orang yang telah melaksanakan ibadah tersebut.
Alasannya, gelar itu tidak didapat pada zaman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sahabat, bahkan tabi'in. Ia juga menjelaskan bahwa ibadah seseorang bergantung pada keikhlasannya.
Pernyataan di atas patut untuk disimak
karena selain alasan yang dikemukakan sangat tepat juga kritiknya
mengenai sasaran. Sebenarnya, alasan faktual itu bisa dikembangkan lebih
panjang jika disesuaikan dengan kondisi umat Islam di negara-negara
berkembang, tanpa terkecuali Indonesia, yang bahkan memiliki lembaga
eksklusif yang mewadahi orang-orang yang bergelar haji, yaitu Ikatan
Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI).
Gelar Haji memang merupakan
bagian dari legitimasi formal tingkat spiritual seseorang, dan hanya
berhak dimiliki oleh orang yang telah melaksanakan rukun Islam yang
kelima itu. Tetapi, apakah legitimasi formal itu selalu menunjukkan
kualitas spiritual yang substansial?
Sebenarnya, ibadah haji adalah sebagai
bagian dari upaya peningkatan keimanan seseorang, jadi tidak dilihat
dari gelar yang disandang, namun sampai sejauh mana ibadah yang telah
dilaksanakan itu membekas dalam diri, lalu terefleksi dalam kehidupan
sehari-hari. Seharusnya orang yang telah melaksanakan haji mampu
meningkatkan kualitas keimanan dan amal salehnya, seperti kedermawanan,
kepekaan sosial, kerendahan hati, keadilan, dan sifat-sifat terpuji
lainnya. Jika sifat-sifat itu tidak meningkat secara kualitatif, atau
justru malah sebaliknya, dia semakin angkuh, sombong, merasa tinggi, dan
membanggakan gelar hajinya, maka bisa jadi pengorbanan biaya, waktu,
dan tenaga yang dicurahkan untuk pergi ke tanah suci tidak ada nilainya
di sisi Allah, atau bahkan di hadapan manusia.
. . . ibadah haji adalah sebagai bagian dari upaya peningkatan keimanan seseorang, jadi tidak dilihat dari gelar yang disandang . . .
Maka, jika seseorang yang telah
melaksanakan ibadah haji namun dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat
tidak meningkatan kesalehan dan tidak mencerminkan bahwa ia telah
berhaji, sebaiknya--bahkan seharusnya--gelar haji itu dihilangkan saja,
dan tidak perlu disandang. Sebab, hal itu hanya akan menjadikan tampilan
fondasi Islam kelima itu kontraproduktif, memperburuk citra, dan
mereduksi makna agungnya.
Haji pada tingkat aktualnya merupakan
latihan bagi manusia untuk kesalehan sosial, seperti meredam
kesombongan, kediktatoran, gila hormat, dan keinginan menindas
sesamanya. Sebab, ketika berhaji seseorang harus mencopot pakaian
kebesarannya, pakaian sehari-hari yang menciptakan ke'aku'an berdasarkan
ras, suku, warna kulit, pangkat, dan lain-lainnya. Semua itu harus
ditanggalkan dan diganti dengan pakaian ihram yang sederhana, tidak
membedakan antara kaya dan miskin, penguasa, ningrat, rakyat, atau
status sosial lainnya. Egoisme ke'aku'an dilebur dalam ke'kita'an,
kebersamaan dalam suasana persaudaraan sesama muslim.
Selain itu, haji juga melatih manusia
melepaskan diri dari selera konsumtif dan cinta harta. Sebab, manusia
ketika berhaji dilarang mengenakan perhiasan dan parfum, dan justru
dianjurkan untuk mengorbankan apa yang dimilikinya, bahkan sesuatu yang
sangat disukainya, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam.
Haji juga merupakan latihan untuk mengendalikan hawa nafsu, termasuk nafsu birahi, amarah, dan berkata keji. Allah berfirman, "Musim
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Maka, barang siapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk menunaikan haji, maka tidak
boleh baginya berhubungan suami istri, berbuat fasik, dan
berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji …." (Al-Baqarah: 197).
. . . nilai substantif haji bukan pada huruf "H" atau "Hj" melainkan ada pada keikhlasan dan ketulusan dalam menunaikan ibadah tersebut serta adanya aktualisasi nilai-nilai ibadah itu yang membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. . .
Haji adalah perjalanan menuju Baitullah.
Maka, manusia yang akan menuju ke tempat suci itu haruslah dalam
keadaan suci. Maksudnya, dibutuhkan kesiapan, bukan hanya kesehatan
fisik dan kecukupan materi, tetapi yang lebih penting adalah kesehatan
mental dan kesiapan spiritual. Lahirnya para haji yang tidak berkualitas
dan tidak mencerminkan kehajiannya bisa jadi karena kekurangsiapan
dalam menjalankan ibadah tersebut, di samping mungkin kurang paham
dengan makna haji yang sesungguhnya.
Dari penjelasan di atas, kiranya
diketahui bahwa nilai substantif haji bukan pada huruf "H" atau "Hj" di
muka nama seseorang yang menjadi gelar baginya, dan bukan pula karena
yang bersangkutan resmi menjadi anggota IPHI, melainkan ada pada
keikhlasan dan ketulusan dalam menunaikan ibadah tersebut serta adanya
aktualisasi nilai-nilai ibadah itu yang membekaskan kesalehan dalam
kehidupan sehari-hari. Tanpa bekas kesalehan itu, sebaiknya gelar haji
dihapus saja. Wallahu a'lam.