WANITA kerap disebut dengan
istilah kembang, di mana warna-warninya mampu mengalihkan pandangan
kumbang untuk mendekatinya dan menghisap madunya. Namun apa yang terjadi
bila madu dihisap habis oleh sang kumbang? Tentunya keindahan daya
tarik sang kembang ada pada madunya, bila madunya habis hilanglah daya
pesonanya dan layulah ia. Begitu pula dengan wanita, yang pada dasarnya
sangat dimuliakan di mata agama.
Seorang wanita dijaga dan dilindungi karena kelemahannya. Sikapnya yang
santun, tutur bahasanya lemah lembut dan perasaannya yang halus
dipercayakan untuk mendidik anak bangsa. Di tangannyalah akan lahir
pemimpin yang bertanggung jawab dan arif dalam kepemimpinannya. Namun
coba bayangkan bila wanita yang mendidiknya lepas dari moral dan etika?
Coba kita lihat di era globalisasi sekarang ini, banyak budaya islami
telah tertukar dengan budaya barat, yang telah merusak moral dan etika
masyarakat kita, terutama kaum hawa. Di tengah banyaknya pemikiran yang
modern mereka beranggapan jika menjadi seorang wanita yang tertutup
dengan pakaian muslimah adalah ketinggalan mode dan dianggap kuno
beserta kolot. Padahal dalam agama dianjurkan dan diwajibkan wanita
untuk menutup auratnya yaitu mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Salah kaprah
Bahkan di dalam shalat pun yang bisa dinampakkan adalah muka dan telapak
tangan. Namun persepsi menggunakan jilbab atau menutup aurat di
kalangan wanita sekarang pun telah terjadi salah kaprah, terlebih lagi
bagi mereka yang minim akan pengetahuan ilmu agama. Mereka beranggapan
dengan menggunakan jilbab mereka telah menutup aurat. Padahal yang
dikatakan jilbab yang dianjurkan untuk menutup aurat, bukanlah jilbab
yang kainnya mampu kita terawang, yang rambutnya nampak dari dalam
secara blak-blakan. Bukan pula yang dililit di leher agar nampak mode
baju yang digunakan.
Firman Allah swt: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: `Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka`. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab:
59).
Dari ayat tersebut sangat jelas yang dikatakan jilbab ialah yang
lebarnya mampu menutupi dada dan perhiasan-perhiasan mereka dengan kain
yang besar dan tebal sehingga mampu menundukkan pandangan orang yang
tidak berhak melihat perhiasan mereka. Hal ini sesuai juga dengan firman
Allah: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya.” (QS. An-Nur: 31).
Mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas‘ud bahwa yang dimaksud perhiasan
yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah adalah pusat
dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud dengan “yang biasa nampak”
bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju. Namun riwayat ini berbeda
dengan riwayat yang shahih dari para shahabat termasuk riwayat Ibnu
Mas‘ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya dari kalangan
tabi‘in bahwa yang dimaksud dengan “yang biasa nampak darinya” bukanlah
wajah, tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin.
Riwayat ini menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.
Namun jika kita tinjau memang sangat benar bila wanita mampu mengalihkan
pandangan para lelaki karena kecantikannya. Oleh karena itu Islam
sangat menghormati dan menjaga wanita sehingga mereka dianjurkan untuk
menjaga pandangan dan kemaluan mereka dengan cara menutup aurat sesuai
pakaian yang syar’i, dengan demikian mereka terjaga dari tangan-tangan
jahil yang ingin menjamah, menggoda dan menggagu mereka.
Ketika kita membicarakan masalah menutup aurat dengan pakaian yang
syar’i kepada wanita zaman sekarang terutama remaja putri, tentunya
sangat sensitif bagi mereka untuk mendengarkan penjelasan kita karena
bagi mereka sudah menutup kepala (jilbab bagi mereka) dan memakai
pakaian panjang (kaos) sudah menunjukkan identitas agama mereka islam.
Mereka juga mengelak bahwa pakaian yang tidak baik digunakan wanita
muslim adalah pakaian seksi, yang menampakkan tubuh, paha dan betis dan
juga menampakkan rambut mereka dengan tidak menutup kepala.
Alangkah sedihnya jika mereka beranggapan demikian. Okelah kita katakan
bahwa mereka menutup kepala dengan kain yang tipis yang mereka anggap
jilbab, dan baju panjang lengan yang ketat yang mereka anggap menutup
aurat. Secara kasat mata dari kejauhan terlihat mereka memang berpakaian
namun jika kita dekati lebih dekat, maka sungguh mereka telanjang,
telanjang dari etika dan moral.
Membungkus aurat
Mengapa tidak baju yang mereka gunakan dengan sempit atau ketat, bahkan
celana jeans serta penutup kepala yang mereka bangga-banggakan bukan
menutup aurat, akan tetapi membungkus aurat. Walaupun sudah tertutup
yang bentuk tubuhnya masih bisa dilihat dan dinikmati oleh orang yang
belum berhak atasnya sehingga banyak terjadi maksiat pula karenanya.
Sedangkan di dalam agama Islam bukan yang demikian yang dikatakan
pakaian bagi wanita, akan tetapi pakaian yang longgar, yang mampu
menahan pandangan syahwat kaum adam, sehingga jauh ia dari fitnah dan
maksiat.
Secara realita dapat kita lihat sungguh permata itu mahal harganya
karena ia diletakkan didalam peti kaca yang tidak bisa disentuh kecuali
bagi orang yang benar-benar ingin membelinya, berbanding terbalik dengan
barang obral yang harganya murah dan banyak tangan yang menyentuhnya
walau belum tentu dibelinya. Begitulah tingginya nilai harga wanita di
mata agama. Namun sayang banyak wanita yang menyia-nyiakan dirinya untuk
kepuasan sesaat.
Oleh karena itu, jadilah wanita yang berpakaian, pakaian yang dibalut
dengan nilai keagamaan, bukan wanita yang telanjang, telanjang dari
nilai moral dan etika. Karena semua lelaki mengiginkan menikahi istri
shalihah, yang mampu menjaga diri dan kehormatannya serta keluarganya.
Dan dari tangannya pula akan lahir pemimpim penerus bangsa yang punya
etika dan moral, yang mampu mengokohkan negara tanpa meninggalkan nilai
agama.
Peran wanita memang sangat utama, mereka diibaratkan tiang negara,
apabila rusak moral mereka maka hancurlah negara dan sebaliknya. Jadi
bagi keluarga yang mempunyai anak perempuan, bagi suami yang mempunyai
istri, bagi kakak yang mempunyai saudara kandung perempuan, dan bagi
diri yang merasa perempuan, mari mendidik, mengarahkan serta menjadikan
mereka wanita-wanita yang mampu mengokohkan negara ini, baik di mata
dunia maupun di mata agama.
Maisarah, Mahasiswi Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jabal Ghafur (Unigha), Sigli.
*serambi/opini