Raa Pramuja - Surabaya menyimpan banyak aset bersejarah. Mulai dari Tugu Pahlawan,
hingga rumah masa remaja Soekarno di kawasan Peneleh, Surabaya. Rumah
sederhana ini milik HOS Tjokroaminoto, tokoh penting dalam sejarah
Indonesia. Banyak catatan menyebut, pemahaman Soekarno tentang
kebangsaan, patriotisme, kesadaran sebagai bangsa bermartabat dan
merdeka, lahir di rumah ini. Lewat diskusi-diskusi kecilnya dengan
Tjokroaminoto, dan koleksi buku pendiri Sarekat Islam ini.
Melihat Soekarno yang selalu bersemangat untuk belajar, Tjokroaminoto pun memperlakukan putra Raden Soekemi Sosrodihardjo ini seperti anak sendiri. Sesekali, tokoh Islam dan nasionalis itu malah mengajak Soekarno berkenalan dengan tokoh-tokoh nasionalis lainnya.
Di rumah ini, kita bisa melihat beberapa ruang yang menjadi saksi bisu kegelisahan Soekarno. Ruangan yang dulu dipakai sebagai ruang tamu keluarga Tjokroaminoto, kamar utama yang terbagi menjadi tiga petak. Petak pertama atau yang paling depan berukuran 3,5 x 3,5 meter, konon digunakan sebagai kamar tidur Tjokroaminoto. Sedangkan di petak ke dua, merupakan kamar tidur Soekarno. Kamar ini ukurannya sekitar 4 x 3,5 meter.
Kamar Soekarno tepat berhadapan dengan ruang khusus yang digunakan sebagai tempat penyimpanan buku. Konon, Soekarno suka belajar dan membaca buku-bukunya di kamar yang terletak di lantai dua. Di ruang berukuran sekitar 5 x 12 meter itu, Soekarno berbaur dengan 20 siswa yang kebetulan suka membaca buku.
Sebagai anak indekos, Soekarno mesti berhemat agar bisa bertahan hidup. "Setiap anak mempunyai sepeda. Aku sendiri yang tidak," kata Soekarno.
Ia mulai menabung, sampai terkumpul Rp 8, lalu dibelikan Fongers hitam mengkilap. Karena didapat dengan susah payah, Soekarno merawat sepeda ini dengan sangat hati-hati. Setiap hari dilap, kadang dicuci hingga tetap mengkilap. Sayang, suatu hari, sepedanya dipakai Harsono, anak berusia tujuh tahun. Diam-diam bocah ini menggenjot sepeda soekarno dan menabrak pohon sampai bengkok. Harsono syok, tertekan karena merasa sudah merusak barang kesayangan Soekarno.
Meski hatinya terguncang dan kecewa, Soekarno tak ingin terus meratapi diri. Ia kembali menabung, sampai terkumpul Rp 8 lagi. Ia langsung membeli sepeda lagi. Dan kali ini, ia membeli untuk Harsono.
Semangat Soekarno untuk menaklukkan segenap keterbatasan memang nampak jelas sejak kecil. Contoh lain, ia mengaku sangat suka nonton film. Karena tak punya uang, ia harus rela nonton film di tempat paling murah di belakang layar. "Waktu itu belum ada film bicara. Jadi aku harus membaca teksnya dan terbalik," kata Soekarno.
Sesungguhnya pengalaman Soekarno ini memberi pelajaran berharga bagi siapa saja. Bahwa dalam hidup yang serba terbatas, kita masih berpeluang untuk berdiri menjadi yang terbaik. Dalam situasi susah, kita masih bisa berbagi dan memberi makna pada orang-orang di sekitar kita.
Di mata Mendag Gita Wirjawan, Bung Karno adalah pribadi yang sangat mengagumkan. "Pada dasarnya, saya mengagumi tokoh yang pernah memimpin Indonesia ini. Dan tentu sangat wajar jika kita berkaca pada apa yang mereka lakukan. Hal positif yang mereka lakukan di masa lalu bisa diulang, dan kekurangan bisa diperbaiki," kata Gita di bukunya, 'Sebuah Perjalanan'.
Salah satunya, bagaimana Soekarno tak mengenal kata menyerah untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih baik. Menurut Gita, Indonesia memang butuh semangat ini. "Sebagai negara dengan sistem demokrasi terbesar ke-3 di dunia serta sistem ekonomi terbesar ke-15 di dunia, Indonesia memiliki banyak peluang untuk bangkit menjadi negara maju. Sayangnya, potensi tersebut belum termaksimalkan. Memajukan pendidikan adalah upaya awal untuk memaksimalkan potensi tersebut," paparnya.
Memang, dalam proses perjalanan itu kadang harus berhadapan dengan banyak ujian. "Tapi jangan menyerah, karena terkadang kegagalan itu bisa memotivasi hidup. Saya sering gagal, sering salah, dan itu selalu membawa hikmah untuk apapun yang saya lakukan. Jadikan semua pengalaman itu sebagai pelajaran untuk menjadi lebih baik," tegas Gita.
Ir. Soekarno |
Di buku 'Penyambung Lidah Rakyat', Soekarno mengatakan rumah ini sebagai
dapur nasionalisme. Ia mengakui secara sadar atau tidak, Tjokroaminoto
telah menggembleng dirinya. "Aku duduk dekat kakinya dan diberikan
kepada buku-bukunya, diberikan padaku miliknya yang berharga. Ia hanya
tidak sanggup memberikan kehangatan langsung dari pribadinya kepada
pribadiku yang sangat kuharapkan," katanya.
Melihat Soekarno yang selalu bersemangat untuk belajar, Tjokroaminoto pun memperlakukan putra Raden Soekemi Sosrodihardjo ini seperti anak sendiri. Sesekali, tokoh Islam dan nasionalis itu malah mengajak Soekarno berkenalan dengan tokoh-tokoh nasionalis lainnya.
Di rumah ini, kita bisa melihat beberapa ruang yang menjadi saksi bisu kegelisahan Soekarno. Ruangan yang dulu dipakai sebagai ruang tamu keluarga Tjokroaminoto, kamar utama yang terbagi menjadi tiga petak. Petak pertama atau yang paling depan berukuran 3,5 x 3,5 meter, konon digunakan sebagai kamar tidur Tjokroaminoto. Sedangkan di petak ke dua, merupakan kamar tidur Soekarno. Kamar ini ukurannya sekitar 4 x 3,5 meter.
Kamar Soekarno tepat berhadapan dengan ruang khusus yang digunakan sebagai tempat penyimpanan buku. Konon, Soekarno suka belajar dan membaca buku-bukunya di kamar yang terletak di lantai dua. Di ruang berukuran sekitar 5 x 12 meter itu, Soekarno berbaur dengan 20 siswa yang kebetulan suka membaca buku.
Sebagai anak indekos, Soekarno mesti berhemat agar bisa bertahan hidup. "Setiap anak mempunyai sepeda. Aku sendiri yang tidak," kata Soekarno.
Ia mulai menabung, sampai terkumpul Rp 8, lalu dibelikan Fongers hitam mengkilap. Karena didapat dengan susah payah, Soekarno merawat sepeda ini dengan sangat hati-hati. Setiap hari dilap, kadang dicuci hingga tetap mengkilap. Sayang, suatu hari, sepedanya dipakai Harsono, anak berusia tujuh tahun. Diam-diam bocah ini menggenjot sepeda soekarno dan menabrak pohon sampai bengkok. Harsono syok, tertekan karena merasa sudah merusak barang kesayangan Soekarno.
Meski hatinya terguncang dan kecewa, Soekarno tak ingin terus meratapi diri. Ia kembali menabung, sampai terkumpul Rp 8 lagi. Ia langsung membeli sepeda lagi. Dan kali ini, ia membeli untuk Harsono.
Semangat Soekarno untuk menaklukkan segenap keterbatasan memang nampak jelas sejak kecil. Contoh lain, ia mengaku sangat suka nonton film. Karena tak punya uang, ia harus rela nonton film di tempat paling murah di belakang layar. "Waktu itu belum ada film bicara. Jadi aku harus membaca teksnya dan terbalik," kata Soekarno.
Sesungguhnya pengalaman Soekarno ini memberi pelajaran berharga bagi siapa saja. Bahwa dalam hidup yang serba terbatas, kita masih berpeluang untuk berdiri menjadi yang terbaik. Dalam situasi susah, kita masih bisa berbagi dan memberi makna pada orang-orang di sekitar kita.
Di mata Mendag Gita Wirjawan, Bung Karno adalah pribadi yang sangat mengagumkan. "Pada dasarnya, saya mengagumi tokoh yang pernah memimpin Indonesia ini. Dan tentu sangat wajar jika kita berkaca pada apa yang mereka lakukan. Hal positif yang mereka lakukan di masa lalu bisa diulang, dan kekurangan bisa diperbaiki," kata Gita di bukunya, 'Sebuah Perjalanan'.
Salah satunya, bagaimana Soekarno tak mengenal kata menyerah untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih baik. Menurut Gita, Indonesia memang butuh semangat ini. "Sebagai negara dengan sistem demokrasi terbesar ke-3 di dunia serta sistem ekonomi terbesar ke-15 di dunia, Indonesia memiliki banyak peluang untuk bangkit menjadi negara maju. Sayangnya, potensi tersebut belum termaksimalkan. Memajukan pendidikan adalah upaya awal untuk memaksimalkan potensi tersebut," paparnya.
Memang, dalam proses perjalanan itu kadang harus berhadapan dengan banyak ujian. "Tapi jangan menyerah, karena terkadang kegagalan itu bisa memotivasi hidup. Saya sering gagal, sering salah, dan itu selalu membawa hikmah untuk apapun yang saya lakukan. Jadikan semua pengalaman itu sebagai pelajaran untuk menjadi lebih baik," tegas Gita.